Saturday 24 October 2015

Geneng

                                                               Renungan malam Suro ke 14
By:edopilpay

Renungan ๐Ÿ€                                                                      HIDUP YANG BAGAI KERTAS 
๐Ÿ“ƒAkte kelahiran... adalah kertas...
๐Ÿ“ˆKartu keluarga... kertas...
๐Ÿ“‘Piagam kelulusan... kertas...
๐Ÿ“‹Ijazah juga kertas...
๐Ÿ”–semuanya hanya berupa kertas....
๐Ÿ“Akad nikah kertas..
๐Ÿ“‚Paspor kertas....
๐Ÿ“‡Surat kepemilikan rumah juga kertas....
๐Ÿ“Resep dokter kertas....
๐Ÿ“œ Undangan acara juga kertas...
⏳⌛Kehidupan kita layaknya kertas-kertas....
⏰Seiring waktu berlalu, dirobek, kemudian dibuang....
Dunia itu semuanya terdiri dari kertas2...
๐Ÿ’ฌBerapa banyak orang bersedih karena "kertas-kertas" yg dimilikinya....
Dan berapa banyak orang begitu bahagia dengan "kertas-kertas" yg dimilikinya....
๐ŸŒ Tetapi, ada satu lembar kertas yg tidak akan dilihat oleh pemiliknya, yaitu:
"SURAT KEMATIAN"
☝Maka persiapkanlah untuk menghadapi kematian, karena itu adalah "KERTAS" terpenting...
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallaahu 'anhu berkata:
Dua hal yg tidak akan kekal dalam diri seorang mukmin : "masa mudanya dan kekuatannya."
Dan dua hal yg berguna untuk setiap mukmin: 
" akhlak yang mulia dan jiwa yang lapang".
Dan dua hal pula yg akan mengangkat derajat seorang mukmin:
 " sikap tawadhu (rendah hati) dan menolong kesulitan orang lain ".
Dan dua hal pula yg menjadi penolak bala': " sedekah dan silaturrahmi"
Ada tiga fase hidup yg tampak unik :
1⃣Masa puber
anda punya waktu dan kekuatan tetapi tidak punya uang.
2⃣Masa bekerja
anda punya harta dan kekuatan, tetapi tidak punya waktu.
3⃣Masa tua
anda punya harta dan punya waktu, tetapi tidak punya kekuatan.
Inilah kehidupan, ketika kita mendapat sebuah karunia. 
Maka akan hilang karunia lainnya...
Kecuali bg kita yg mau bersyukur...
Barangkali kita merasa bahwa kehidupan orang lain, selalu lebih baik dari kehidupan kita !!!

Sementara orang lain pun meyakini, bahwa kehidupan kita lebih baik darinya.

Hal itu dikarenakan kita melupakan hal yg sangat penting dalam hidup kita, yaitu bersikap Qana'ah (mensyukuri apa yang kita miliki).

๐Ÿก Seandainya ada toko yang menjual kebahagiaan, anda akan melihat orang-orang akan berebut mendatanginya. Kemudian membelinya meskipun mahal harganya...

☝Mereka melupakan bahwa kebahagiaan itu dengan menyempurnakan rasa syukur dan sabar menerima takdir kehidupan ini, di iringi do'a dalam setiap langkah-langkah usaha kita.
Beribadah kepada-Nya dengan ketundukan dan kepatuhan...

Sadarilah bahwa masih ada satu "kertas" lagi yg akan kita terima, Yakni kertas catatan amal ibadah kita,semoga catatanya baik.

Saturday 17 October 2015

Bulan Muharam

KEUTAMAAN DAN KEISTIMEWAAN BULAN MUHARRAM

                                             By: edopilpay


1.    Penamaan Bulan Ini

Kata Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena peperangan(jihad) diharamkan pada bulan tersebut”(1); jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan ini. Pada bulan ini Allah melarang umatnya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Seperti misalnya berperang, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang kuraisy sebelum datangnya agama Islam.

2.    Beberapa Keutamaan Bulan Muharram

a.     Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram

Allah Ta’ala berfirman:

ุฅِู†َّ ุนِุฏَّุฉَ ุงู„ุดُّู‡ُูˆุฑِ ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„َّู‡ِ ุงุซْู†َุง ุนَุดَุฑَ ุดَู‡ْุฑًุง ูِูŠ ูƒِุชَุงุจِ ุงู„ู„َّู‡ِ ูŠَูˆْู…َ ุฎَู„َู‚َ ุงู„ุณَّู…َูˆَุงุชِ ูˆَุงู„ْุฃَุฑْุถَ ู…ِู†ْู‡َุง ุฃَุฑْุจَุนَุฉٌ ุญُุฑُู…ٌ ุฐَู„ِูƒَ ุงู„ุฏِّูŠู†ُ ุงู„ْู‚َูŠِّู…ُ ูَู„َุง ุชَุธْู„ِู…ُูˆุง ูِูŠู‡ِู†َّ ุฃَู†ْูُุณَูƒُู…ْ ูˆَู‚َุงุชِู„ُูˆุง ุงู„ْู…ُุดْุฑِูƒِูŠู†َ ูƒَุงูَّุฉً ูƒَู…َุง ูŠُู‚َุงุชِู„ُูˆู†َูƒُู…ْ ูƒَุงูَّุฉً ูˆَุงุนْู„َู…ُูˆุง ุฃَู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ู…َุนَ ุงู„ْู…ُุชَّู‚ِูŠู†َ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. at Taubah :36).

Pada ayat ini menerangkan kepada kita bahwa setelah penciptaan langit dan bumi Allah menciptakan bulan yang berjumlah 12 bulan yang mana bulan tersebut merupakan bulan tahun Hijriah. Dalam bulan-bulan tersebut terdapat 4 bulan yang paling istimewa diantara bulan yang lainnya, salah satunya adalah bulan Muharram. Pada bulan Muharram Allah mengharamkan umat islam melakukan perbuatan yang dilarang, (membunuh, berperang). Tetapi disana juga menjelaskan bahwa orang muslim harus memerangi orang kafir yang selalu mengajak kepada kehancuran. Yang dilakukan orang kafir, adalah bukan karena ingin merampas harta seperti yang dilakukan sebelum datangnya islam, merebut kekuasaan, balas dendam seperti yang telah dialami ketika umat islam mengusir orang kafir untuk meninggalkan Makkah dan Madinah, tetapi mereka menginginkan agama Islam hancur.

Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang  bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”(2).

Disinilah yang menjadi pokok pada bulan Muharram, bahwa diharamkan umat-Nya melakukankan berperang atau membunuh pada bulan-bulan istimewa tersebut, karena apabila melanggarnya, maka dosanya akan dilipat gandakan dari bulan-bulan yang lain. Dengan adanya larang tersebut berarti Allah juga akan memberikan pahala bagi umat-Nya yang mengerjakan alaman seperti yang disunahkan.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban yang menjadi bulannya Allah, bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh  jadi Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan safar atau sakit (7).

Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilah Yaumul ‘Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan Muharram (‘asyuro). ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.

 4.    Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro

Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya  dengan pengklasifikasian sebagai berikut:

Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)

ุนَู†ْ ุงุจْู†ِ ุนَุจَّุงุณٍ ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู†ْู‡ُู…َุง ู‚َุงู„َ ู‚َุฏِู…َ ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุงู„ْู…َุฏِูŠู†َุฉَ ูَุฑَุฃَู‰ ุงู„ْูŠَู‡ُูˆุฏَ ุชَุตُูˆู…ُ ูŠَูˆْู…َ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ูَู‚َุงู„َ ู…َุง ู‡َุฐَุง ู‚َุงู„ُูˆุง ู‡َุฐَุง ูŠَูˆْู…ٌ ุตَุงู„ِุญٌ  ู‡َุฐَุง ูŠَูˆْู…ٌ ู†َุฌَّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุจَู†ِูŠ ุฅِุณْุฑَุงุฆِูŠู„َ ู…ِู†ْ ุนَุฏُูˆِّู‡ِู…ْ ูَุตَุงู…َู‡ُ ู…ُูˆุณَู‰ ู‚َุงู„َ ูَุฃَู†َุง ุฃَุญَู‚ُّ ุจِู…ُูˆุณَู‰ ู…ِู†ْูƒُู…ْ ูَุตَุงู…َู‡ُ ูˆَุฃَู…َุฑَ ุจِุตِูŠَุงู…ِู‡ِ

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. [H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]

Hadis lain menjelaskan:

ุนَู†ْ ุฃَุจِูŠ ู…ُูˆุณَู‰ ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู†ْู‡ُ ู‚َุงู„َ ูƒَุงู†َ ูŠَูˆْู…ُ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ูŠَูˆْู…ًุง ุชُุนَุธِّู…ُู‡ُ ุงู„ْูŠَู‡ُูˆุฏُ ูˆَุชَุชَّุฎِุฐُู‡ُ ุนِูŠุฏًุง ูَู‚َุงู„َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุตُูˆู…ُูˆู‡ُ ุฃَู†ْุชُู…ْ

Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut periwayatan imam Muslim)

Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum kewajiban puasa Ramadhan

ุนَู†ْ ุนَุงุฆِุดَุฉَ ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู†ْู‡َุง ู‚َุงู„َุชْ ูƒَุงู†َ ูŠَูˆْู…ُ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ุชَุตُูˆู…ُู‡ُ ู‚ُุฑَูŠْุดٌ ูِูŠ ุงู„ْุฌَุงู‡ِู„ِูŠَّุฉِ ูˆَูƒَุงู†َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูŠَุตُูˆู…ُู‡ُ ูَู„َู…َّุง ู‚َุฏِู…َ ุงู„ْู…َุฏِูŠู†َุฉَ ุตَุงู…َู‡ُ ูˆَุฃَู…َุฑَ ุจِุตِูŠَุงู…ِู‡ِ  ูَู„َู…َّุง ูُุฑِุถَ ุฑَู…َุถَุงู†ُ ุชَุฑَูƒَ ูŠَูˆْู…َ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ูَู…َู†ْ ุดَุงุกَ ุตَุงู…َู‡ُ ูˆَู…َู†ْ ุดَุงุกَ ุชَุฑَูƒَู‡ُ . ู…ุชูู‚ ุนู„ูŠู‡.

Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]

ุนู† ุนَุจْุฏ ุงู„ู„َّู‡ِ ุจْู† ุนُู…َุฑَ ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู†ْู‡ُู…َุง ุฃَู†َّ ุฃَู‡ْู„َ ุงู„ْุฌَุงู‡ِู„ِูŠَّุฉِ  ูƒَุงู†ُูˆุง ูŠَุตُูˆู…ُูˆู†َ ูŠَูˆْู…َ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ  ูˆَุฃَู†َّ ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุตَุงู…َู‡ُ ูˆَุงู„ْู…ُุณْู„ِู…ُูˆู†َ ู‚َุจْู„َ ุฃَู†ْ ูŠُูْุชَุฑَุถَ ุฑَู…َุถَุงู†ُ ูَู„َู…َّุง ุงูْุชُุฑِุถَ ุฑَู…َุถَุงู†ُ  ู‚َุงู„َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุฅِู†َّ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ูŠَูˆْู…ٌ ู…ِู†ْ ุฃَูŠَّุงู…ِ ุงู„ู„َّู‡ِ ูَู…َู†ْ ุดَุงุกَ ุตَุงู…َู‡ُ ูˆَู…َู†ْ ุดَุงุกَ ุชَุฑَูƒَู‡ُ (ุฑูˆุงู‡ ู…ุณู„ู…)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]

Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro

ุนَู†ْ ุงุจْู†ِ ุนَุจَّุงุณٍ ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู†ْู‡ُู…َุง ู‚َุงู„َ ู…َุง ุฑَุฃَูŠْุชُ ุงู„ู†َّุจِูŠَّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูŠَุชَุญَุฑَّู‰ ุตِูŠَุงู…َ ูŠَูˆْู…ٍ ูَุถَّู„َู‡ُ ุนَู„َู‰ ุบَูŠْุฑِู‡ِ ุฅِู„َّุง ู‡َุฐَุง ุงู„ْูŠَูˆْู…َ ูŠَูˆْู…َ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ูˆَู‡َุฐَุง ุงู„ุดَّู‡ْุฑَ ูŠَุนْู†ِูŠ ุดَู‡ْุฑَ ุฑَู…َุถَุงู†َ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]

ุนَู†ْ ุงู„ุฑُّุจَูŠِّุนِ ุจِู†ْุชِ ู…ُุนَูˆِّุฐِ ุจْู†ِ ุนَูْุฑَุงุกَ ู‚َุงู„َุชْ ุฃَุฑْุณَู„َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุบَุฏَุงุฉَ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ุฅِู„َู‰ ู‚ُุฑَู‰ ุงู„ْุฃَู†ْุตَุงุฑِ ุงู„َّุชِูŠ ุญَูˆْู„َ ุงู„ْู…َุฏِูŠู†َุฉِ ู…َู†ْ ูƒَุงู†َ ุฃَุตْุจَุญَ ุตَุงุฆِู…ًุง ูَู„ْูŠُุชِู…َّ ุตَูˆْู…َู‡ُ ูˆَู…َู†ْ ูƒَุงู†َ ุฃَุตْุจَุญَ ู…ُูْุทِุฑًุง ูَู„ْูŠُุชِู…َّ ุจَู‚ِูŠَّุฉَ ูŠَูˆْู…ِู‡ِ ูَูƒُู†َّุง ุจَุนْุฏَ ุฐَู„ِูƒَ ู†َุตُูˆู…ُู‡ُ ูˆَู†ُุตَูˆِّู…ُ ุตِุจْูŠَุงู†َู†َุง ุงู„ุตِّุบَุงุฑَ ู…ِู†ْู‡ُู…ْ ุฅِู†ْ ุดَุงุกَ ุงู„ู„َّู‡ُ ูˆَู†َุฐْู‡َุจُ ุฅِู„َู‰ ุงู„ْู…َุณْุฌِุฏِ ูَู†َุฌْุนَู„ُ ู„َู‡ُู…ْ ุงู„ู„ُّุนْุจَุฉَ ู…ِู†ْ ุงู„ْุนِู‡ْู†ِ ูَุฅِุฐَุง ุจَูƒَู‰ ุฃَุญَุฏُู‡ُู…ْ ุนَู„َู‰ ุงู„ุทَّุนَุงู…ِ ุฃَุนْุทَูŠْู†َุงู‡َุง ุฅِูŠَّุงู‡ُ ุนِู†ْุฏَ ุงู„ْุฅِูْุทَุงุฑِ

Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah seorang dari mereka menangis  karena ingin makan maka kami berikan kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari (1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]

 5.    Keutamaan Puasa Asyuro

ุนَู†ْ ุฃَุจِูŠ ู‚َุชَุงุฏَุฉَ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ุฃَู†َّ ุงู„ู†َّุจِูŠَّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ  ู‚َุงู„َ ุตِูŠَุงู…ُ ูŠَูˆْู…ِ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ุฅِู†ِّูŠ ุฃَุญْุชَุณِุจُ ุนَู„َู‰ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฃَู†ْ ูŠُูƒَูِّุฑَ ุงู„ุณَّู†َุฉَ ุงู„َّุชِูŠ ู‚َุจْู„َู‡ُ

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162) ]

 a.     Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya

Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:

ูَุฅِุฐَุง ูƒَุงู†َ ุงู„ْุนَุงู…ُ ุงู„ْู…ُู‚ْุจِู„ُ ุฅِู†ْ ุดَุงุกَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุตُู…ْู†َุง ุงู„ْูŠَูˆْู…َ ุงู„ุชَّุงุณِุนَ ู‚َุงู„َ ูَู„َู…ْ ูŠَุฃْุชِ ุงู„ْุนَุงู…ُ ุงู„ْู…ُู‚ْุจِู„ُ ุญَุชَّู‰ ุชُูˆُูِّูŠَ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ

“Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“

Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]

ุนَู†ْ ุงุจْู†ِ ุนَุจَّุงุณٍ ุฃَู†َّู‡ُ ู‚َุงู„َ ุตُูˆู…ُูˆุง ุงู„ุชَّุงุณِุนَ ูˆَุงู„ْุนَุงุดِุฑَ ูˆَุฎَุงู„ِูُูˆุง

ุฅِู†َّ ุงู„ุฒَّู…َุงู†َ ู‚َุฏْ ุงุณْุชَุฏَุงุฑَ ูƒَู‡َูŠْุฆَุชِู‡ِ ูŠَูˆْู…َ ุฎَู„َู‚َ ุงู„ู„َّู‡ُ ุงู„ุณَّู…َูˆَุงุชِ  ูˆَุงู„ْุฃَุฑْุถَ ุงู„ุณَّู†َุฉُ ุงุซْู†َุง ุนَุดَุฑَ ุดَู‡ْุฑًุง ู…ِู†ْู‡َุง ุฃَุฑْุจَุนَุฉٌ ุญُุฑُู…ٌ ุซَู„َุงุซٌ ู…ُุชَูˆَุงู„ِูŠَุงุชٌ ุฐُูˆ ุงู„ْู‚َุนْุฏَุฉِ ูˆَุฐُูˆ ุงู„ْุญِุฌَّุฉِ ูˆَุงู„ْู…ُุญَุฑَّู…ُ ูˆَุฑَุฌَุจُ ู…ُุถَุฑَ ุงู„َّุฐِูŠ ุจَูŠْู†َ ุฌُู…َุงุฏَู‰  ูˆَุดَุนْุจَุงู†َ

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan Muslim(1679) ]

Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya Allah telah memulai  waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram) lalu menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan Muharram” (3).

b.     Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah

Kedua belas bulan yang ada adalah makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah). Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

ุฃَูْุถَู„ُ ุงู„ุตِّูŠَุงู…ِ ุจَุนْุฏَ ุฑَู…َุถَุงู†َ ุดَู‡ْุฑُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุงู„ْู…ُุญَุฑَّู…ُ ูˆَุฃَูْุถَู„ُ ุงู„ุตَّู„َุงุฉِ  ุจَุนْุฏَ ุงู„ْูَุฑِูŠุถَุฉِ ุตَู„َุงุฉُ ุงู„ู„َّูŠْู„ِุงู„ْูŠَู‡ُูˆุฏَ

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi” [Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]

b.     Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)

Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro, beliau menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja (8). Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :

ุตُูˆู…ُูˆุง ูŠَูˆْู…َ ุนَุงุดُูˆุฑَุงุกَ ูˆَุฎَุงู„ِูُูˆุง ูِูŠู‡ِ ุงู„ْูŠَู‡ُูˆุฏَ ุตُูˆู…ُูˆุง ู‚َุจْู„َู‡ُ ูŠَูˆْู…ًุง ุฃَูˆْ ุจَุนْุฏَู‡ُ ูŠَูˆْู…ًุง

“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]

Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila  jelek hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah perkataan  Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi (9).

Dalam pandangan yang lain, hadist yang lemah boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan umat-Nya. Bereda dengan hadist yang menjelaskan tentang syari’at. Maka hadist yang lemah tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai landasan atau dasar.

Namun demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan:

1)        Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).

2)        Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).

Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis  yang shahih, dimana Rasulullah  shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.

Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja, wallohu a’lam. Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa, sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin

�» FADHILAH PUASA AKHIR & AWAL TAHUN HIJRIYAH
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ู…َู†ْ ุตَุงู…َ ุขุฎِุฑَ ูŠَูˆْู…ٍ ู…ِู†ْ ุฐِูŠ ุงู„ุญِุฌَّุฉِ ، ูˆَุฃَูˆَّู„ِ ูŠَูˆْู…ٍ ู…ِู†َ ุงู„ู…ُุญَุฑَّู…ِ ูَู‚َุฏْ ุฎَุชَู…َ ุงู„ุณَّู†َุฉَ ุงู„ู…َุงุถِูŠَุฉَ ุจِุตَูˆْู…ٍ ، ูˆَุงูْุชَุชَุญَ ุงู„ุณَّู†َุฉُ ุงู„ู…ُุณْุชَู‚ْุจِู„َุฉُ ุจِุตَูˆْู…ٍ ، ุฌَุนَู„َ ุงู„ู„ู‡ُ ู„َู‡ُ ูƒَูَุงุฑَุฉٌ ุฎَู…ْุณِูŠْู†َ ุณَู†َุฉً

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup
tahun yang lalu dengan puasa dan
membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kafarat/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.[ H.R. Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]

Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk  disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut, sebagaimana istilah baitullah (rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.

Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram yang Allah diharamkan padanya berperang, disamping itu bulan Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan Muharram” (4)

As Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah – sementara bulan yang lain tak mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al Muharram” nama nama islami. Berbeda dgn bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dgn nama : Shafar Awwal. Kemudian ketika islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dgn Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (5)

Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (6). karena itu, tak boleh ada sedikitpun riak & konflik di bulan ini.

3.    Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram

Sebagaimana telah disebutkan di atas dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang  telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,

ุฃَูْุถَู„ُ ุงู„ุตِّูŠَุงู…ِ ุจَุนْุฏَ ุฑَู…َุถَุงู†َ ุดَู‡ْุฑُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุงู„ْู…ُุญَุฑَّู…ُ ูˆَุฃَูْุถَู„ُ ุงู„ุตَّู„َุงุฉِ  ุจَุนْุฏَ ุงู„ْูَุฑِูŠุถَุฉِ ุตَู„َุงุฉُ ุงู„ู„َّูŠْู„ِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail”    [ HR. Muslim(11630) ]

Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram. Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits ini

Friday 16 October 2015

Bulan suro keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan hal-hal semacam itu? Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[1] Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[2] Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah) Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[3] Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa. Bulan Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah Itulah berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.” Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya. Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini. Mencela Waktu atau Bulan Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek. Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”[5] Jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla. Merasa Sial dengan Waktu Tertentu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.”[6] Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan. Jangan Salahkan Bulan Suro! Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30) Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.”[7] Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’azza wa jalla. Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat. Yang Mesti Dilakukan: Isilah Bulan Muharram dengan Puasa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[8] Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[9] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.[10] Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.[11] Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu: [1] Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan [2] Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[12] Insya Allah tanggal 10 Muharram jatuh pada tanggal 27 Desember 2009 sedangkan tanggal 9 Muharram jatuh pada tanggal 26 Desember 2009. Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel http://rumaysho.com 6 Muharram 1431 H, di Pogung Kidul, Jogja [1] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679 [2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir [3] HR. Muslim no. 2812 [4] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H [5] HR. Muslim no. 6000 [6] HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah [7] Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah [8] HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah. [9] HR. Muslim no. 1162. [10] HR. Muslim no. 1134, dari Ibnu ‘Abbas. [11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13. [12] Lihat Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, hal. 128, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1428 H. 

Bulan Suro –yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram- terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan hal-hal semacam itu? Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36) Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[1] Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[2] Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah) Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[3] Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa. Bulan Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah Itulah berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.” Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya. Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini. Mencela Waktu atau Bulan Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek. Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”[5] Jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla. Merasa Sial dengan Waktu Tertentu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.”[6] Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan. Jangan Salahkan Bulan Suro! Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30) Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.”[7] Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’azza wa jalla. Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat. Yang Mesti Dilakukan: Isilah Bulan Muharram dengan Puasa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[8] Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[9] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.[10] Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.[11] Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu: [1] Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan [2] Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[12] Insya Allah tanggal 10 Muharram jatuh pada tanggal 27 Desember 2009 sedangkan tanggal 9 Muharram jatuh pada tanggal 26 Desember 2009. Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel http://rumaysho.com 6 Muharram 1431 H, di Pogung Kidul, Jogja [1] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679 [2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir [3] HR. Muslim no. 2812 [4] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H [5] HR. Muslim no. 6000 [6] HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah [7] Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah [8] HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah. [9] HR. Muslim no. 1162. [10] HR. Muslim no. 1134, dari Ibnu ‘Abbas. [11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13. [12] Lihat Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, hal. 128, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1428 H.

Thursday 15 October 2015

Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirjo (Eyang Suro) lahir pada 1869 di Gresik, Jawa Timur. Putra tertua Ki Ngabehi Soeromihardjo (Bupati Gresik pada saat itu) yang bergaris keturunan sampai ke Sultan Syah Alam Akbar Al-Fattah (R. Patah), Sultan Demak I (kerajaan Islam pertama yang berpusat di Jawa). Sejak kecil, beliau sudah tinggi semangatnya dalam menimba ilmu. Pada usia 15 tahun, beliau belajar agama sekaligus pencak silat di pondok pesantren Tebuireng, Jombang (Jawa Timur). Setahun kemudian (pada usia 16 tahun), beliau menjadi pegawai pengawas di Bandung dan menggunakan kesempatan selama tinggal di tempat barunya ini untuk mengenal dan mempelajari beragam pencak silat aliran Pasundan (Jawa Barat) seperti Cimande, Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cimalaya dan Sumedangan. Pada usia 17 tahun, beliau mempelajari pula pencak silat-pencak silat aliran Betawen, Kwitang dan Monyetan ketika dipindahkan oleh kantornya ke Betawi (Jakarta). Pada usia 18 tahun, beliau dipindahkan lagi ke Bengkulu dan kemudian ke Padang (Sumatra Barat). Di sini pun beliau banyak mempelajari berbagai aliran pencak silat setempat seperti Padang Pariaman, Padang Panjang, Padang Sidempuan, Solok, Singkarak dan Kuda Batak. Di daerah ini beliau tinggal selama 10 tahun sebelum kemudian ke Aceh dan mempelajari aliran pencak silat setempat. Melalui perguruan-perguruan pencak silat Setia Hati yang didirikan para muridnya inilah ajaran- ajaran Eyang Suro turut disebarkan ke masyarakat. Berhubung situasi pada saat itu adalah berada di tengah-tengah semangat patriotik yang tinggi menghadapi penindasan penjajah maka semakin banyak pula para pemuda yang turut bergabung untuk belajar. Setia Hati masih eksis hingga kini dan berkembang luas, bukan hanya di berbagai penjuru daerah Nusantara namun juga manca negara. Pesan Ki ageng suro diwiryo sebelum wafat : "Jika saya sudah pulang ke Rachmatullah supaya saudara-saudara “Setia-Hati” tetap bersatu hati, tetap rukun lahir bathin." Dedikasi dan loyalitas untuk perguruan besar,ajaran tentang hidup yang sejati,makna persaudaraan...semua ada dalam SETIA HATI..