Sunday 8 September 2013

Pandudewanata mempunyai lima orang putra yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Kelima putra raja Pandu ini disebut Pandawa, artinya keturunan atau anak Pandu. Raja Pandu berharap agar Bima di kemudian hari menjadi negarawan yang baik untuk membantu Yudhistira, yang akan menggantikan raja Pandu sebagai raja Ngastina. Harapan Pandu tersebut meleset, sebab Bima tidak mempunyai bakat sebagai negarawan. Bima tidak berbakat sebagai negarawan karena sifatnya sebagai pendiam yang tidak memungkinkannya menjadi negarawan yang baik. Lagi pula Bima berbicara tidak mengingat tempat dan suasana. Bima memiliki sifat pendian dan mandiri, artinya segala kesukaran dan bahaya yang dihadapi sendiri. Bima tidak mau menggangu atau mengurus kepentingan orang lain, kecuali kalau diminta untuk menolong. Bima mempunyai kemauan kuat dan pendirian tegas. Keberanian Bima luar biasa, dan jalannya sangat kencang, sampai orang menggambarkan Bima berjalan bagaikan kilat diiringi angin topan. Sifat Bima yang lain adalah jujur dan gurususrusa, artinya sangat patuh dan hormat pada guru. Hal itu disebut juga sembah guru dan termasuk salah satu dari lima sembah, yang diketahui Bima dari kakeknya Abiyasa. Lima sembah tersebut antara lain sembah kepada Sang Kholiq, raja, kedua orang tua, guru, dan diri pribadi atau harga diri. Berdasarkan pengetahuan tersebut, Bima teramat taat kepada gurunya (Resi Durna), apapun yang diperintahkan diterima dengan penuh hormat dan keyakinan tinggi akan kebenarannya, serta dilakukan dengan tulus hati tanpa berprasangka buruk (Adikara, 1984). Kebanyakan mistikus Jawa menyebut cerita Dewa Ruci merupakan wujud lakon mistik yang paling dalam makna ceritanya di pertunjukkan wayang. Cerita Dewa Ruci ditulis dalam bahasa Kawi (Jawa Kuna) oleh Empu Widjajaka di Mamenang (Seno Sastroamidjojo, 1967). Jalan ceritera lakon Dewa Ruci dan makna-makna yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Permusyawarahan di Astina. Isinya Prabu Duryudana beserta bawahannya sedang membicarakan akan datangnya perang Bharatayudha. Pihak Kurawa khawatir terhadap kekuatan pihak Pandawa, apalagi ada Raden Bima yang dianggap sebagai kekuatan inti dari Pandawa. Yang dibicarakan adalah cara memusnahkan Bima dari muka bumi tanpa mempergunakan kekerasan. Akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa yang bisa membunuh Bima dengan tipu muslihat adalah Resi Durna. Resi Durna adalah Guru (yang luhur) dari Raden Bima, dan ia sangat taat terhadap gurunya. Pada suatu saat, Bima mendapat perintah dari Resi Durna untuk mencari air hidup. Beliau berkata, “ Barang siapa memiliki "air hidup", maka akan mencapai tingkat hidup yang sempurna dan suci, serta "ilmu kebebasan jiwa" akan menjadi miliknya. Dalam lakon ini Resi Durna dimaknai sebagai lambang angan-angan atau budi yang menggerakkan perasaan “aku” tokoh Bima. 2. Untuk memperoleh air hidup ini tidak mudah, karena terletak ditempat yang berbahaya yakni Gunung Reksa Muka. Belum pernah ada orang keluar dengan selamat dari rimba gunung tersebut, meskipun demikian Bima bertekad keras berangkat dan tidak menghiraukan ucapan saudara-saudaranya, yang bertujuan menghalangi langkah Bima. Makna “menghalang” ialah sebagai perlambang badan wadag dan berbagai nafsu, berfungsi mengimbangi suatu hasrat, supaya selalu awas dan waspada atas kegiatan atau pikiran ke-akuan yang mampu menjerumuskan ke hal-hal buruk. Sampai ditujuan, Bima dihadang Raksasa Rukmuka dan Rukmakala, terjadi peperangan dahsyat. Perang tersebut melambangkan tekad menggali akal budi, tepatnya hasrat melawan angan-angan yang tidak senonoh, dan mengendalikan hawa nafsu buruk. Akhirnya Bima menang, Rukmuka dan Rukmakala mati. Ternyata kedua raksasa itu adalah penjelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang terkena kutuk oleh Batara Guru. Sebagai tanda terima kasih, Batara Indra dan Batara Bayu memberi hadiah berupa Sabuk Bara Tjinde Wilis, yang melambangkan adanya kebulatan lahir dan batin Bima dalam melaksanakan tekad. Ia juga diberitahu bahwa air kehidupan tidak ada di Gunung Reksa Muka. 3. Bima kembali ke Astina dan menemui Durna. Ia menceritakan bahwa air hidup tidak ada di Gunung Reksa Muka, kemudian Durna berkata, “Letak „air hidup. ada di Gua Sigrangga tengah Hutan Palasara”. 4. Bima pergi ke Gua Sigrangga. Ia dihadang oleh marabahaya berupa ular naga besar di tempat itu, terjadi pertarungan antara Bima dan ular naga. Naga kalah dan berubah menjadi Dewi Maheswari. Sang Dewi menjadi naga juga karena kutukan Batara Guru. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, sang Dewi memberitahu bahwa „air hidup. tidak terdapat di gua itu. Bima merenung, kembali memantapkan niat dan bertanya kepada Durna. Durna menjawab, “Seorang guru berhak menguji muridnya paling sedikit dua kali. Pertama diuji ketulusannya, kedua diuji kesetiaannya, dan ketiga mengenai ketetapan hidupnya”. Ketiga kali Durna memberi Bima petunjuk untuk pergi ke Laut Selatan. 5. Ketika hendak berangkat ke Laut Selatan, Bima kembali dihalang-halangi saudara-saudaranya. Ia tidak peduli dan meninggalkan saudara-saudaranya tersebut. Adegan ini melambangkan tindakan membersihkan diri, baik berhubungan dengan yang disukainya maupun yang tidak. 6. Setelah sampai di Laut Selatan. Bima ternyata ditunggu oleh empat orang saudara seperguruannya (sedulur tunggal bayu) yang hendak menghalang-halangi niatnya, karena dorongan rasa kasih sayang pada Bima. Filosofinya ialah sang Bima (merupakan lambang tiap manusia) dalam usaha mencari „air hidup. atau kesucian batin, selalu dilindungi oleh keempat saudara sekekuatan (sedulur papat lima pancer). Nasehat-nasehat dari saudara-saudara tunggal bayu juga tidak dihiraukan. Peristiwa ini mengandung arti bahwa hawa nafsu tidak dapat dikendalikan. Ini dimaknai sebagai perjuangan manusia melepaskan diri dari cengkeraman hawa nafsu atau sifat murka untuk bertemu dengan Tuhan, jika dikaitkan dengan agama Islam, maknanya sama dengan mengambil air wudlu sebelum melaksanakan sembahyang (menghadap Tuhan). 7. Maksud hati Bima ingin segera menemukan „air hidup., tetapi ia dihadang oleh ular besar yang bernama Nembur Nawa. Naga ini melambangkan bahaya besar yang mengancam kehidupan (semua orang). Bahaya tersebut menimbulkan rasa takut, khawatir akan mati dan lain-lain, bagi orang-orang yang tidak bertauhid atau berhasrat teguh. Lain halnya dengan Bima, ia berani melawan naga tersebut, meskipun dengan susah payah mengeluarkan segenap kekuatan. Akhirnya naga terbunuh dengan kuku pancanakanya. Peristiwa di atas melambangkan kemenangan manusia dalam mengalahkan hawa nafsu sebagai musuh besar dalam kehidupan, dengan menyatukan kelima kekuatan yang ada pada dirinya sendiri (Kuku Pancanaka berasal dari kata panca berarti lima dan naka berarti kekuatan. Jadi makna dari Kuku Pancanaka adalah lima kekuatan yang disatukan). 8. Setelah peristiwa peperangan tersebut Bima kehabisan tenaga. Akhirnya ia pingsan diombang-ambing ombak samudera. Dewa Ruci melihatnya dan merasa kasihan kepada Bima. Akhirnya Dewa Ruci mendekati dan menolong Bima dengan menampakkan dirinya sebagai anak kerdil atau bocah bajang, yang menyerupai Bima di waktu kecil. Peristiwa ini bermakna seorang bayi pada umumnya masih suci murni pada waktu lahir. Pada adegan 1 sampai dengan 8 melambangkan roh (ke-akuan) Bima telah bertemu dengan sang Marbudyengrat (Tuhan Yang Maha Esa). Setelah Bima mengalami penderitaan yang panjang karena dia melakukan mesubrata dengan mematahkan (meper) panca inderanya untuk tetap tetep, aneng, dan eling. Setelah bertemu dengan Dewa Ruci, Bima mendapatkan banyak wejangan tentang hidup, yang terurai dalam percakapan berikut ini: Bima : “Kenapa Dewa Ruci bisa hidup senang di tempat sunyi,sepi, dan jauh dari keramaian ?” Dewa Ruci : “Ketahuilah anakku Bima. Pada hakikatnya rasa mensyukuri senang dapat memperbesar rasa terima kasih dan keteguhanku. Suatu keramaian atau pesta ria aku tidak merasa senang. Kekurangan dan kemiskinan bagiku tidak berarti sebagai penderitaan atau kesedihan. Cacat aku anggap tidak merugikan diriku. Makananku sangat sederhana.” „Aku. dikiaskan dengan kepribadian Bima. Bima : “Apakah paugeraning ngagesang atau hakikat hidup yang sejati itu?” Dewa Ruci : “Hai anakku, badan wadag atau tubuh manusia itu mengandung kelima jenis hawa nafsu yang menyatu disebut Panca Buta (sedulur papat lima pancer). Kelima hawa nafsu tersebut merupakan hadiah hidup. Tegasnya hidup tanpa Panca Buta itu tidak sempurna, jika hadiah sepenting itu tidak dipelihara sebaik-baiknya dan dikendalikan secara wajar, kemungkinan besar hawa nafsu akan keluar dari kebenaran atau menyeleweng. Tiap manusia wajib mengawasi dengan cermat gerak-gerik hawa nafsu pribadi, serta membimbingnya ke arah keselarasan di segala bidang. Usaha tersebut apabila belum berhasil atau meluap menjadi angkara murka, maka orang bersangkutan akan mudah terjerumus dalam jurang dosa yang beraneka corak. Dosa itu seharusnya dibuang sejauh mungkin. Adapun cara mengesampingkannya adalah menghindari sifat angkara murka. Hal itu hanya dapat terlaksana dengan jalan melatih diri terus-menerus, dengan tujuan menentramkan badan dan pikiran secara wajar (keadaan tata, titi, tentrem, dan tatas) serta memurnikan kepribadian. Ketahuilah anakku, segala sesuatu di seluruh alam, hakikatnya hanya bayangan belaka, tidak abadi. Oleh sebab itu, keliru apabila tujuan dan kegiatan orang hanya diperuntukkan mengejar keduniawian saja, karena tanpa batas. Lain halnya dengan Panjitamala yang berasal dari sang Adnjana Wasesa disebut pula sang Cipta Nirmala atau Kawruh Sejati. Pengetahuan atau kesadaran yang sejati timbul dari kesucian, kemurnian serta kejernihan batin yang mutlak. Hai anakku, sehubungan dengan hal-hal tersebut berdaya upayalah sekuat tenaga, ke arah tercapainya keadaan murni sejati laksana „air hidup (Tirta Amarta). Jangan pisah sekejap mata dari pembersihan dirimu dengan „air hidup. itu. Hanya dengan perbuatan demikian, yang dapat menghindarkan dan membersihkan jasadmu dari berbagai marabahaya beserta penderitaannya.” 9. Setelah jatining pitedah (pokok petuah) tadi meresap ke dalam sanubari sang Bima. Ia dipersilakan memasuki lubang telinga kiri sang Dewa Ruci terus ke dalam tubuhnya, untuk mendapat wejangan lebih lanjut. Peristiwa ini melambangkan jumbuhing atau manunggaling kawula Gusti, setelah Bima mencapai kesempurnaan hidup, karena sudah tahu tentang hakikat hidup. Orang yang seperti ini, berarti telah mencapai keadaan unio mystica dan sadar akan arti sangkan paraning dumadi. Segala ajaran Dewa Ruci dalam hubungan ini melambangkan mustikaning budhi (sumber segala budi pekerti), telah menjadi darah dagingnya. Peristiwa memasuki tubuh sang Dewa Ruci, bermakna bahwa watak sang Bima telah mengalami perubahan penting menuju kebaikan. 10.Setelah mendapat wejangan dalam tubuh Dewa Ruci, tiba-tiba Bima berada di pantai tanpa diketahui caranya. Sejak peristiwa tersebut sang Bima tidak suka mengurai rambut lagi, melainkan mengenakan sanggul yang dinamakan Gelung Minangkoro Cinandhi Renggo endhek ngarep dhuwur mburi. Gelung itu melambangkan watak sopan. Tepatnya, ia tidak mau memamerkan kepandaiannya tersebut, melainkan menyimpan dalam diri (ginelung wonten) kratoning budhi (hati sanubari), meskipun memiliki ilmu pengetahuan tinggi, kecerdasan, budi pekerti yang luhur). Atas dasar itu, ia bertindak bijaksana, adil, dapat mengatasi segala masalah dengan selaras, serta senantiasa memusatkan kepribadian kepada Tuhan Yang Maha Esa.



No comments:

Post a Comment